Kamis, 30 Januari 2014

Awalnya, Aku Tak Suka

Rasa Syukurku, Tuhan
          “Pak …, Ketut berangkat dulu ya …,”ucapku. “ Hati-hati ya, Nak. Dimanapun, dengan siapapun, tetap berlaku baik dan sopan. Jaga ucapan, pikiran, dan tindakanmu. Bapak hanya bisa mendoakan semoga kau baik-baik saja. Tuhan memberkatimu, Nak.”pesan bapak. Begitulah suasana haru ketika aku berpamitan dengan bapakku. Suasana perpisahan anak dan bapak yang begitu singkat sebelum bus Sumber Kencono membawaku melaju ke Pasuruan, suatu kota dimana salah satu PJTKI berdiri dan beroperasi dengan peraturan yang sangat ketat.             Singkat cerita, panggil saja aku Ketut. Demikian Bapak menamai aku. Banyak orang tertipu dengan nama itu. Mereka menduga aku adalah seorang keturunan Bali. Hmm …, dan aku menikmatinya. Tadinya aku tidak senang dengan nama itu. Tak jarang teman-teman mengolok-olok namaku. Menyamakan nama itu dengan nama angin alami manusia(ted!). Tapi, kusyukuri juga. Karena nama itu, aku sedikit terkenal. Bali adalah salah satu pulau terindah di negeriku, bahkan di dunia. Aku tak menyimpan dendam jika mereka mengolok-olok aku. Aku lebih menikmati semuanya itu. Aku yang jarang bermain di rumah karena alasan harus membantu orang tua, sangat senang ketika bertemu dan bermain bersama teman-teman di sekolah. Oleh sebab itu, aku lebih memilih aktif di sekolah dan kegiatan ekstra lainnya agar aku bisa bermain lebih banyak di luar rumah. Selain di sekolah, aku juga aktif dalam kegiatan rohani di gereja. Dari pendidikan sekolah dan gereja itu, aku menjadi anak yang agamis, humoris, ramah, pandai menyesuaikan diri, dan termasuk siswa yang berprestasi. Jiwa sosialku pun semakin tinggi.  Karena kriteriaku inilah, aku tak kesulitan mendapat kawan. Aku mensyukurinya. Tuhan selalu memberi apa yang aku harapkan yakni mendapat banyak teman dan memberi penghiburan di sela-sela kepenatanku membantu orang tua di rumah. Demikianlah sekilas tentang aku.
            Berlatar-belakang dari keluarga yang berekonomi pas-pasan tapi hidup dengan penuh sukacita, canda-tawa, dan kebersamaan, aku berniat mencari rejeki ke Hong Kong. Sebenarnya, alasan utama bukan karena ekonomi keluarga, tapi karena kekecewaan. Dan, merantau ke negeri orang adalah sebuah pelampiasannya. Aku adalah salah satu orang dari sekian orang yang tidak setuju bahkan tidak senang jika rakyat Indonesia menjadi TKI ke luar negeri. Tapi, ketidaksenanganku itu justru semakin menerkamku sendiri. Karena dililit hutang, usaha orangtuaku terpaksa gulung-tikar. Ibuku memutuskan untuk berangkat ke Singapura. Akulah yang paling tidak  setuju. Waktu itu, aku baru saja masuk SMA. Aku melalui masa SMA tanpa kehadiran ibu. Tak ada tempat bercurah rasa seputar wanita selain dengan kakakku. Aku merasa menjadi anak ABG yang kurang lengkap tanpa ibu disampingku secara nyata. Tiga tahun berlalu, Ibu kembali. Namun, aku sudah bekerja di Surabaya. Melihat banyak teman melanjutkan sekolah, aku pun memiliki harapan yang sama. Mengetahui hal itu, ibu berniat ke luar negeri lagi, yakni ke Hong Kong. Aku memutuskan untuk berhenti bekerja, dan ikut ujian masuk suatu universitas di Surabaya. Dari sejumlah siswa yang ikut ujian, aku termasuk yang lolos. Tapi sayang, uang masuk untuk daftar ulang begitu mahal. Bapak tidak bisa mengusahakannya. Padahal, sebelum aku ikut ujian, aku sudah pamit dan mereka akan mendukungnya. Aku tahu, itu hanya semangat dari mereka agar aku tetap berjuang. Positive-thinking-ku waktu itu, apa salahnya mencoba. Mungkin saja mereka bisa mengusahakannya. Dan …, Ahh, masa lalu. Sudahlah. Itu kecewaku. Bukan hanya kecewa pada orang tua, tapi pada diriku sendiri. Mengapa aku masih belum bisa membuka mata, seperti apa kondisi keuangan keluargaku. Sebelumnya, kakakku sudah memeringatkanku, untuk mengurungkan niatku ikut ujian itu. Tapi, keras kepalaku tak ada yang bisa menghalanginya. Dan berakhir kecewa. Itulah alasanku mengapa aku berniat ke Hong Kong. Selain itu juga, aku berpikir jika aku sudah dua tahun mengumpulkan uang, aku bisa pulang dan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ditambah, aku bisa bertemu dengan ibu nanti. Yang ternyata, ketika kami sedang berada di PJTKI yang berlainan, ibu harus pindah proses. Harapan untuk dapat bersama-sama gagal. Ibu kembali proses Singapura. Padahal, aku sangat menginginkan kedekatan itu. Kedekatan antara anak dan ibu.
            “Bangun Bangun Bangun …!!! PT Bangun Gunung Sari, Bangun Bangun Bangun !!!” Begitulah teriak ibu asrama di PJTKI membangunkan para siswi disaat orang masih enak-enaknya bermimipi. Yah …, pukul 04.30 WIB semua siswi harus bangun dan mengerjakan piket harian sesuai tingkatan pelatihan masing-masing. Aku berada di balai latihan kerja. Proses pelatihan di PJTKI membuat aku semakin menjadi orang yang lebih dewasa. Jadual kegiatan tertata rapi dan semua peraturan sangat ketat. Semua berjalan tertib. Aku belajar banyak disana. Aku pun memiliki banyak teman. Dari setiap obrolanku dengan mereka, ternyata masih banyak orang yang memiliki alasan merantau yang lebih pahit daripada aku. Alangkah masih beruntungnya aku ketika masih di rumah bersama keluarga. Tapi, ini sudah resiko yang harus kujalani. Aku sudah masuk kesini maka aku harus keluar dari tempat ini sesuai peraturan, bahkan sampai ke negara tujuan dan bekerja sampai selesai masa kontrak tanpa hambatan apapun, dan akhirnya kembali lalu melanjutkan sekolah. Dan meraih sukses! Semangat untuk tetap melanjutkan sekolah masih membara dipikiranku. Kenapa? Singkat, jelas, dan padat, aku tak mau dililit utang lagi. Aku harus jadi orang sukses. Demikianlah semangatku waktu itu.
            Di PJTKI, aku benar-benar dituntut untuk tunduk pada atasan. Itu bukan kriteriaku. Aku benar-benar merasakan, bagaimana menjadi seorang pembantu. Aku teringat, akan apa yang tidak aku senangi terhadap label TKI. “Ohh … Tuhan … Kau hajar aku dengan segala cara-Mu”,tangisku pada Tuhan. Aku menjalani proses demi proses. Waktu aku lalui dengan penuh riang diwajah, meski sebenarnya jenuh dan bosan, tapi tetap kupasang wajah sukacitaku, karena Tuhan selalu besertaku. Ada banyak wajah jenuh, kusut, dan tak bersemangat disana. Aku tidak bisa berdiam saja dan ikut jenuh. Aku berusaha jadi seorang yang mampu menghibur hati mereka. itu karyaku selama disana.
            Hampir delapan bulan dalam proses di lembaga pelatihan, dimana proses itu juga termasuk 2 bulan lamanya penundaan keberangkatanku ke negara tujuan. Orang yang mengontrak aku, harus menundanya karena pembantu yang lama kecelakaan kerja. Aku malu, sangat malu. Aku yang sudah berpamitan kepada semua kawan dan staff kantor, ternyata tidak jadi berangkat. Aku semakin jenuh, bahkan berniat pulang saja. Tapi, Tuhan tetap menguatkanku. DIA menguatkanku agar keinginanku yang dulu dapat tercapai. Disaat tak seorang pun mampu memberi penghiburan, Tuhan selalu mampu melakukannya. Karena sudah tak ada uang untuk pegangan selama di PT, aku meminta PKL. Di tempat PKL, aku tinggal dalam keluarga Kristen yang baik, ramah, dan menghargai peranku disana. Keluarga yang cukup kaya dan mampu. Namun, kurang harmonis. Kurang ada komunikasi antar anggota keluarga. Sering terjadi pertengkaran. Tapi, yah, namanya keluarga, hal wajar menurutku. Aku teringat masa-masa sukacitaku dengan keluargaku. Meski hidup pas-pasan, tapi selalu ada komunikasi. Bapak selalu menciptakan suasana yang gembira dan menghibur. Meskipun beliau terkenal preman di daerahku, tapi beliau adalah body-guard untuk anak-anaknya. Ibu mampu meredam suasana emosi jika terjadi pertengkaran dalam keluarga. Keluarga yang menyenangkan kurasa. Aku rindu mereka. Aku yakin suatu saat nanti kami pasti bersatu lagi. Di rumah itu, ada salah satu anak mereka yang cacat mental(idiot). Aku sungguh amat kasihan. Dalam keluarga yang berekonomi cukup bahkan lebih itu, ternyata masih saja ada kurangnya. Aku makin merasakan besarnya keagungan Tuhan. Saat itu juga, aku semakin menyerahkan diri secara total kepada Tuhan. Apapun yang terjadi pada hidupku, biarlah Tuhan yang mengatasi. Kubiarkan Tuhan mengemudikan langkah hidupku. Keimananku terhadap Tuhan semakin kuat. Dan aku menjadi pribadi yang jauh lebih kuat dari sebelumnya. Sekitar satu setengah bulan aku PKL disana. Tiba-tiba, aku mendapat telepon dari PJTKI. Aku harus kembali karena waktu keberangkatanku ke Hong Kong telah tertera. Perasaan haru menenggelamkan aku. Air mata pun menjadi saksi. Di satu sisi, rasa syukur karena apa yang aku harapkan terkabul. Disisi lain, aku telah dekat dengan keluarga itu. Perasaan berat meninggalkan keluarga itu membuat aku meneteskan air mata. Ibu Helmy( nyonya di rumah itu) memelukku ketika kami akan berpisah. Sungguh, pengalaman yang amat berharga dan menguatkan jiwa, dipeluk seorang ibu sebelum pergi jauh.
            Beberapa hari setelah pulang PKL, Cathay Pacific Air Line menerbangkanku ke negera beton. Aku tiba di Hong Kong tepatnya tanggal 06 Mei 2010. Aku diterima dalam sebuah keluarga kecil. Aku merawat seorang nenek yang buta. Aku kembali terharu karena sebelum terbang ke negera Hong Kong, aku sempat bermasalah dengan mataku. Ya, aku berkacamata. Aku harus memakai soft-lens. Tapi aku tak bisa memakainya. Perasaan was-was dan khawatir memenuhi pkiranku. Aku takut calon majikanku tidak akan suka karena aku berbohong. Dalam foto pramuwismaku, aku tidak memakai kacamata. Ternyata, itu hanya pikiran burukku. Sungguh, Tuhan kembali membuatku tersungkur dengan penuh syukur. Betapa masih beruntungnya aku yang hanya karena minus, penglihatanku terganggu tapi aku masih bisa melihat jelas meski dengan bantuan kacamata. Sedangkan nenek ini, yang karena usia, membuatnya tak bisa melihat keagungan karya ciptaan Tuhan. Tapi, nenek ini memiliki semangat hidup yang tinggi. Ia tak mau dikasihani. Ia tetap mengerjakan aktivitas di rumah sendiri, seperti makan, mandi, dan aktivitas lainnya tanpa bantuan orang lain. “Ohh …, Tuhan … Ampuni aku yang kurang bersyukur ini”, ucapku dalam doaku.
            Hari-hari masa adapatasi tidak begitu menyenangkan. Karena keadaan nenek yang aku rawat demikian itu, sulit untukku beradaptasi dengannya. Belum lagi, anaknya laki-laki yang tak menyukaiku. Banyak hal yang ia lakukan agar aku dikeluarkan dari rumah itu. Tapi, aku tidak takut ataupun dendam padanya. Tiap malam aku selalu mengadu pada Tuhan. Aku minta agar Tuhan tetap menguatkanku hingga selesai masa kerjaku di rumah itu. Pernah juga, aku berniat untuk berhenti setelah habis masa potong gaji, tapi lagi-lagi Tuhan menopang aku dan memberiku semangat dan kekuatan.
            Setahun berlalu. Aku masih di tempat itu. Lama-lama, nenekku bisa menerimaku bekerja di rumah itu juga. Dia mulai mempercayaiku. Dan semua itu tak lepas dari kuasa Tuhan. Aku hanya bisa tersenyum sambil menengadah ke atas dan bilang,”THANKS BE TO GOD!!!”. Tak henti-hentinya Tuhan membuatku tersenyum bangga dan bersyukur akan segala perbuatan tangan-Nya kepadaku.
            Pada suatu hari, setelah sekian lama aku bekerja sambil mencari informasi seputar pendidikan entah itu kursus, universitas, bahkan acara yang berhubungan dengan keterampilan sekalipun, akhirnya aku memiliki pikiran untuk menghubungi KJRI. Kenapa aku tak dari dulu mencari info ke KJRI? Semua karena alasan awal agar aku segera pulang dan kuliah di Indonesia, aku harus berhemat. Sampai-sampai banyak teman dari PT yang menelpon tidak pernah kuterima. Itu pun demi harapan besarku di Indonesia nanti. Aku tidak mau lama-lama disini. Kembali ke KJRI, aku menanyakan tentang adakah universitas dari Indonesia yang membuka cabang di Hong Kong. Petugas KJRI mengatakan ada dan memberi nomor telepon Universitas Terbuka padaku. Aku segera menelpon nomor itu. Setelah medengar beberapa penjelasan dari sekretariat UT, aku berminat masuk. Pertengahan bulan Juni 2011 aku mendaftar. Rasa senang dan syukur kembali memenuhi hatiku. Satu persatu Tuhan memberikan jawaban atas impian-impianku.
            Masuk universitas lalu kuliah, tak semudah yang aku bayangkan. Aku kira setelah bisa masuk, semuanya akan  baik-baik saja dan berjalan seperti biasanya. Tapi, masalah selalu datang. Aku yang sebelumnya berpikir bahwa dengan kuliah disini, aku bisa sedikit melupakan dan tidak berpikir panjang tentang majikan yang sering menyebalkan. Ditambah, jika aku kuliah disini, minimal aku tidak membuang waktuku. Itulah pikiran awal. Ternyata, majikan semakin mempersulitku terutama dalam hal belajar di rumah. Setelah pekerjaan selesai, aku meluangkan waktu untuk membaca. Namun, anak laki-laki nenekku menyuruhku tidur dan segera mematikan lampu. Tak jarang aku bertengkar dengannya karena masalah lampu. Melihat dan merasakan semua itu, semangat belajarku semakin tinggi. Aku semakin bersemangat jika dia marah hanya karena aku belajar. Aku merasakan ada sesuatu yang harus diperjuangkan. Sekolah adalah sesuatu itu. Banyak hal yang dia lakukan agar ibunya(nenek yang kurawat) tidak menyukaiku. Satu-satunya tameng terhebatku adalah Tuhan. Semua perasaan kesal, marah, dan benci aku haturkan pada Tuhan. Aku minta agar aku tak mengeluarkan rasa ini kepada orang itu. Aku juga minta agar Tuhan tetap mempertahanku di rumah itu sampai berakhir masa kontrakku. Ada suatu keyakinan dalam hatiku bahwa aku tak akan keluar dari rumah itu jika bukan Tuhan sendiri yang membawaku keluar. Disaat-saat seperti itu, saat dimana suasana tempat kerja dan majikan tak bersahabat, masih juga ditambah masalah dengan keluarga di Indonesia. Aku benar-benar dituntut untuk tetap bisa mengendalikan semuanya. Bersamaan dengan itu, aku pun harus mempersiapkan diri untuk menempuh UAS. Sungguh, pikiran dan perasaanku makin kacau balau jauh dari kata konsentrasi. Namun, aku masih ingat pada DIA. Tak henti-hentinya aku meminta tolong kepada Tuhan karena hanya DIA-lah andalanku. Dan benar, Tuhan tak pernah berbohong. DIA selalu menepati janji-Nya, takkan dibiarkan umat-Nya menopang beban hidup sendirian. DIA mengirimkan perantara-perantara-Nya tepat pada waktunya. Aku mampu menghadapi UAS semester awal dan berhasil dengan nilai yang membahagiakan. Bagiku, bukan nilai yang membuatku berkesan tetapi proses yang kujalani untuk meraihnya. Proses, yang bukan hanya sekedar proses dalam menghadapi UAS, tapi juga proses kehidupan yang lebih luas. Dimana, setiap proses itu, aku menjalaninya bersama Tuhan. Aku tidak sendirian menghadapi proses kehidupanku ini. Ada Tuhan yang selalu menemaniku. Dan DIA siap menjadi tameng dari setiap masalah hidup. Meski setiap doa yang diunjukkan tak sempat tertata, tapi Tuhan menghargainya dan megabulkan jauh lebih indah dari apa yang diminta. Asal kita percaya, Tuhan mampu memberi segalanya untuk kita. Berbahagialah kita yang mengandalkan kekuatan Tuhan dan menyimpan kepercayaan kepada-Nya. Terimakasih Tuhan. I love you, God!
            Demikianlah sepenggal perjalanan hidupku bersama Tuhan dalam meraih sebagian dari cita-citaku. Terimakasih.



Tentang penulis :
Ketut Astiti, adalah salah satu dari mahasiswi Universitas Terbuka Indonesia di Hong Kong yang mengambil Fakultas Ilmu Sosial dan Politik  sub jurusan Sastra Inggris Bidang Minat Penerjemah Semester III di awal tahun 2013. Siswi kelahiran kota Ngawi ini memiliki jiwa humor yang tinggi. Di usianya yang memasuki tahun ke-22 pada tanggal 01 Agustus nanti, memiliki cita-cita menjadi seorang pendidik. Semoga tercapai. Sukses!



^ GOD BLESS US ^