Rasa Syukurku, Tuhan
“Pak
…, Ketut berangkat dulu ya …,”ucapku. “ Hati-hati ya, Nak. Dimanapun, dengan
siapapun, tetap berlaku baik dan sopan. Jaga ucapan, pikiran, dan tindakanmu.
Bapak hanya bisa mendoakan semoga kau baik-baik saja. Tuhan memberkatimu, Nak.”pesan
bapak. Begitulah suasana haru ketika aku berpamitan dengan bapakku. Suasana
perpisahan anak dan bapak yang begitu singkat sebelum bus Sumber Kencono
membawaku melaju ke Pasuruan, suatu kota dimana salah satu PJTKI berdiri dan
beroperasi dengan peraturan yang sangat ketat. Singkat
cerita, panggil saja aku Ketut. Demikian Bapak menamai aku. Banyak orang
tertipu dengan nama itu. Mereka menduga aku adalah seorang keturunan Bali. Hmm
…, dan aku menikmatinya. Tadinya aku tidak senang dengan nama itu. Tak jarang
teman-teman mengolok-olok namaku. Menyamakan nama itu dengan nama angin alami
manusia(ted!). Tapi, kusyukuri juga. Karena nama itu, aku sedikit terkenal.
Bali adalah salah satu pulau terindah di negeriku, bahkan di dunia. Aku tak
menyimpan dendam jika mereka mengolok-olok aku. Aku lebih menikmati semuanya
itu. Aku yang jarang bermain di rumah karena alasan harus membantu orang tua,
sangat senang ketika bertemu dan bermain bersama teman-teman di sekolah. Oleh
sebab itu, aku lebih memilih aktif di sekolah dan kegiatan ekstra lainnya agar
aku bisa bermain lebih banyak di luar rumah. Selain di sekolah, aku juga aktif
dalam kegiatan rohani di gereja. Dari pendidikan sekolah dan gereja itu, aku
menjadi anak yang agamis, humoris, ramah, pandai menyesuaikan diri, dan
termasuk siswa yang berprestasi. Jiwa sosialku pun semakin tinggi. Karena kriteriaku inilah, aku tak kesulitan
mendapat kawan. Aku mensyukurinya. Tuhan selalu memberi apa yang aku harapkan
yakni mendapat banyak teman dan memberi penghiburan di sela-sela kepenatanku
membantu orang tua di rumah. Demikianlah sekilas tentang aku.
Berlatar-belakang dari keluarga yang
berekonomi pas-pasan tapi hidup dengan penuh sukacita, canda-tawa, dan
kebersamaan, aku berniat mencari rejeki ke Hong Kong. Sebenarnya, alasan utama
bukan karena ekonomi keluarga, tapi karena kekecewaan. Dan, merantau ke negeri
orang adalah sebuah pelampiasannya. Aku adalah salah satu orang dari sekian
orang yang tidak setuju bahkan tidak senang jika rakyat Indonesia menjadi TKI
ke luar negeri. Tapi, ketidaksenanganku itu justru semakin menerkamku sendiri.
Karena dililit hutang, usaha orangtuaku terpaksa gulung-tikar. Ibuku memutuskan
untuk berangkat ke Singapura. Akulah yang paling tidak setuju. Waktu itu, aku baru saja masuk SMA. Aku
melalui masa SMA tanpa kehadiran ibu. Tak ada tempat bercurah rasa seputar
wanita selain dengan kakakku. Aku merasa menjadi anak ABG yang kurang lengkap
tanpa ibu disampingku secara nyata. Tiga tahun berlalu, Ibu kembali. Namun, aku
sudah bekerja di Surabaya. Melihat banyak teman melanjutkan sekolah, aku pun
memiliki harapan yang sama. Mengetahui hal itu, ibu berniat ke luar negeri
lagi, yakni ke Hong Kong. Aku memutuskan untuk berhenti bekerja, dan ikut ujian
masuk suatu universitas di Surabaya. Dari sejumlah siswa yang ikut ujian, aku
termasuk yang lolos. Tapi sayang, uang masuk untuk daftar ulang begitu mahal.
Bapak tidak bisa mengusahakannya. Padahal, sebelum aku ikut ujian, aku sudah
pamit dan mereka akan mendukungnya. Aku tahu, itu hanya semangat dari mereka
agar aku tetap berjuang. Positive-thinking-ku waktu itu, apa salahnya mencoba.
Mungkin saja mereka bisa mengusahakannya. Dan …, Ahh, masa lalu. Sudahlah. Itu
kecewaku. Bukan hanya kecewa pada orang tua, tapi pada diriku sendiri. Mengapa
aku masih belum bisa membuka mata, seperti apa kondisi keuangan keluargaku.
Sebelumnya, kakakku sudah memeringatkanku, untuk mengurungkan niatku ikut ujian
itu. Tapi, keras kepalaku tak ada yang bisa menghalanginya. Dan berakhir kecewa.
Itulah alasanku mengapa aku berniat ke Hong Kong. Selain itu juga, aku berpikir
jika aku sudah dua tahun mengumpulkan uang, aku bisa pulang dan melanjutkan
sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ditambah, aku bisa bertemu dengan ibu
nanti. Yang ternyata, ketika kami sedang berada di PJTKI yang berlainan, ibu
harus pindah proses. Harapan untuk dapat bersama-sama gagal. Ibu kembali proses
Singapura. Padahal, aku sangat menginginkan kedekatan itu. Kedekatan antara
anak dan ibu.
“Bangun … Bangun … Bangun …!!! PT
Bangun Gunung Sari, Bangun … Bangun … Bangun !!!” Begitulah teriak ibu asrama di
PJTKI membangunkan para siswi disaat orang masih enak-enaknya bermimipi. Yah …,
pukul 04.30 WIB semua siswi harus bangun dan mengerjakan piket harian sesuai
tingkatan pelatihan masing-masing. Aku berada di balai latihan kerja. Proses
pelatihan di PJTKI membuat aku semakin menjadi orang yang lebih dewasa. Jadual
kegiatan tertata rapi dan semua peraturan sangat ketat. Semua berjalan tertib. Aku
belajar banyak disana. Aku pun memiliki banyak teman. Dari setiap obrolanku
dengan mereka, ternyata masih banyak orang yang memiliki alasan merantau yang
lebih pahit daripada aku. Alangkah masih beruntungnya aku ketika masih di rumah
bersama keluarga. Tapi, ini sudah resiko yang harus kujalani. Aku sudah masuk
kesini maka aku harus keluar dari tempat ini sesuai peraturan, bahkan sampai ke
negara tujuan dan bekerja sampai selesai masa kontrak tanpa hambatan apapun,
dan akhirnya kembali lalu melanjutkan sekolah. Dan meraih sukses! Semangat
untuk tetap melanjutkan sekolah masih membara dipikiranku. Kenapa? Singkat, jelas,
dan padat, aku tak mau dililit utang lagi. Aku harus jadi orang sukses.
Demikianlah semangatku waktu itu.
Di PJTKI, aku benar-benar dituntut
untuk tunduk pada atasan. Itu bukan kriteriaku. Aku benar-benar merasakan,
bagaimana menjadi seorang pembantu. Aku teringat, akan apa yang tidak aku
senangi terhadap label TKI. “Ohh … Tuhan … Kau hajar aku dengan segala
cara-Mu”,tangisku pada Tuhan. Aku menjalani proses demi proses. Waktu aku lalui
dengan penuh riang diwajah, meski sebenarnya jenuh dan bosan, tapi tetap
kupasang wajah sukacitaku, karena Tuhan selalu besertaku. Ada banyak wajah
jenuh, kusut, dan tak bersemangat disana. Aku tidak bisa berdiam saja dan ikut
jenuh. Aku berusaha jadi seorang yang mampu menghibur hati mereka. itu karyaku
selama disana.
Hampir delapan bulan dalam proses di
lembaga pelatihan, dimana proses itu juga termasuk 2 bulan lamanya penundaan
keberangkatanku ke negara tujuan. Orang yang mengontrak aku, harus menundanya
karena pembantu yang lama kecelakaan kerja. Aku malu, sangat malu. Aku yang
sudah berpamitan kepada semua kawan dan staff kantor, ternyata tidak jadi
berangkat. Aku semakin jenuh, bahkan berniat pulang saja. Tapi, Tuhan tetap
menguatkanku. DIA menguatkanku agar keinginanku yang dulu dapat tercapai.
Disaat tak seorang pun mampu memberi penghiburan, Tuhan selalu mampu
melakukannya. Karena sudah tak ada uang untuk pegangan selama di PT, aku
meminta PKL. Di tempat PKL, aku tinggal dalam keluarga Kristen yang baik,
ramah, dan menghargai peranku disana. Keluarga yang cukup kaya dan mampu.
Namun, kurang harmonis. Kurang ada komunikasi antar anggota keluarga. Sering
terjadi pertengkaran. Tapi, yah, namanya keluarga, hal wajar menurutku. Aku
teringat masa-masa sukacitaku dengan keluargaku. Meski hidup pas-pasan, tapi
selalu ada komunikasi. Bapak selalu menciptakan suasana yang gembira dan
menghibur. Meskipun beliau terkenal preman di daerahku, tapi beliau adalah
body-guard untuk anak-anaknya. Ibu mampu meredam suasana emosi jika terjadi
pertengkaran dalam keluarga. Keluarga yang menyenangkan kurasa. Aku rindu
mereka. Aku yakin suatu saat nanti kami pasti bersatu lagi. Di rumah itu, ada
salah satu anak mereka yang cacat mental(idiot). Aku sungguh amat kasihan.
Dalam keluarga yang berekonomi cukup bahkan lebih itu, ternyata masih saja ada
kurangnya. Aku makin merasakan besarnya keagungan Tuhan. Saat itu juga, aku
semakin menyerahkan diri secara total kepada Tuhan. Apapun yang terjadi pada
hidupku, biarlah Tuhan yang mengatasi. Kubiarkan Tuhan mengemudikan langkah
hidupku. Keimananku terhadap Tuhan semakin kuat. Dan aku menjadi pribadi yang
jauh lebih kuat dari sebelumnya. Sekitar satu setengah bulan aku PKL disana.
Tiba-tiba, aku mendapat telepon dari PJTKI. Aku harus kembali karena waktu
keberangkatanku ke Hong Kong telah tertera. Perasaan haru menenggelamkan aku.
Air mata pun menjadi saksi. Di satu sisi, rasa syukur karena apa yang aku harapkan
terkabul. Disisi lain, aku telah dekat dengan keluarga itu. Perasaan berat
meninggalkan keluarga itu membuat aku meneteskan air mata. Ibu Helmy( nyonya di
rumah itu) memelukku ketika kami akan berpisah. Sungguh, pengalaman yang amat
berharga dan menguatkan jiwa, dipeluk seorang ibu sebelum pergi jauh.
Beberapa hari setelah pulang PKL,
Cathay Pacific Air Line menerbangkanku ke negera beton. Aku tiba di Hong Kong
tepatnya tanggal 06 Mei 2010. Aku diterima dalam sebuah keluarga kecil. Aku
merawat seorang nenek yang buta. Aku kembali terharu karena sebelum terbang ke
negera Hong Kong, aku sempat bermasalah dengan mataku. Ya …, aku berkacamata.
Aku harus memakai soft-lens. Tapi aku tak bisa memakainya. Perasaan was-was dan
khawatir memenuhi pkiranku. Aku takut calon majikanku tidak akan suka karena
aku berbohong. Dalam foto pramuwismaku, aku tidak memakai kacamata. Ternyata,
itu hanya pikiran burukku. Sungguh, Tuhan kembali membuatku tersungkur dengan
penuh syukur. Betapa masih beruntungnya aku yang hanya karena minus, penglihatanku
terganggu tapi aku masih bisa melihat jelas meski dengan bantuan kacamata.
Sedangkan nenek ini, yang karena usia, membuatnya tak bisa melihat keagungan
karya ciptaan Tuhan. Tapi, nenek ini memiliki semangat hidup yang tinggi. Ia
tak mau dikasihani. Ia tetap mengerjakan aktivitas di rumah sendiri, seperti
makan, mandi, dan aktivitas lainnya tanpa bantuan orang lain. “Ohh …, Tuhan …
Ampuni aku yang kurang bersyukur ini”, ucapku dalam doaku.
Hari-hari masa adapatasi tidak
begitu menyenangkan. Karena keadaan nenek yang aku rawat demikian itu, sulit
untukku beradaptasi dengannya. Belum lagi, anaknya laki-laki yang tak
menyukaiku. Banyak hal yang ia lakukan agar aku dikeluarkan dari rumah itu.
Tapi, aku tidak takut ataupun dendam padanya. Tiap malam aku selalu mengadu
pada Tuhan. Aku minta agar Tuhan tetap menguatkanku hingga selesai masa kerjaku
di rumah itu. Pernah juga, aku berniat untuk berhenti setelah habis masa potong
gaji, tapi lagi-lagi Tuhan menopang aku dan memberiku semangat dan kekuatan.
Setahun berlalu. Aku masih di tempat
itu. Lama-lama, nenekku bisa menerimaku bekerja di rumah itu juga. Dia mulai
mempercayaiku. Dan semua itu tak lepas dari kuasa Tuhan. Aku hanya bisa
tersenyum sambil menengadah ke atas dan bilang,”THANKS BE TO GOD!!!”. Tak
henti-hentinya Tuhan membuatku tersenyum bangga dan bersyukur akan segala
perbuatan tangan-Nya kepadaku.
Pada suatu hari, setelah sekian lama
aku bekerja sambil mencari informasi seputar pendidikan entah itu kursus, universitas,
bahkan acara yang berhubungan dengan keterampilan sekalipun, akhirnya aku
memiliki pikiran untuk menghubungi KJRI. Kenapa aku tak dari dulu mencari info
ke KJRI? Semua karena alasan awal agar aku segera pulang dan kuliah di
Indonesia, aku harus berhemat. Sampai-sampai banyak teman dari PT yang menelpon
tidak pernah kuterima. Itu pun demi harapan besarku di Indonesia nanti. Aku
tidak mau lama-lama disini. Kembali ke KJRI, aku menanyakan tentang adakah
universitas dari Indonesia yang membuka cabang di Hong Kong. Petugas KJRI mengatakan
ada dan memberi nomor telepon Universitas Terbuka padaku. Aku segera menelpon
nomor itu. Setelah medengar beberapa penjelasan dari sekretariat UT, aku
berminat masuk. Pertengahan bulan Juni 2011 aku mendaftar. Rasa senang dan
syukur kembali memenuhi hatiku. Satu persatu Tuhan memberikan jawaban atas
impian-impianku.
Masuk universitas lalu kuliah, tak
semudah yang aku bayangkan. Aku kira setelah bisa masuk, semuanya akan baik-baik saja dan berjalan seperti biasanya.
Tapi, masalah selalu datang. Aku yang sebelumnya berpikir bahwa dengan kuliah
disini, aku bisa sedikit melupakan dan tidak berpikir panjang tentang majikan
yang sering menyebalkan. Ditambah, jika aku kuliah disini, minimal aku tidak
membuang waktuku. Itulah pikiran awal. Ternyata, majikan semakin mempersulitku
terutama dalam hal belajar di rumah. Setelah pekerjaan selesai, aku meluangkan
waktu untuk membaca. Namun, anak laki-laki nenekku menyuruhku tidur dan segera
mematikan lampu. Tak jarang aku bertengkar dengannya karena masalah lampu.
Melihat dan merasakan semua itu, semangat belajarku semakin tinggi. Aku semakin
bersemangat jika dia marah hanya karena aku belajar. Aku merasakan ada sesuatu
yang harus diperjuangkan. Sekolah adalah sesuatu itu. Banyak hal yang dia
lakukan agar ibunya(nenek yang kurawat) tidak menyukaiku. Satu-satunya tameng
terhebatku adalah Tuhan. Semua perasaan kesal, marah, dan benci aku haturkan
pada Tuhan. Aku minta agar aku tak mengeluarkan rasa ini kepada orang itu. Aku
juga minta agar Tuhan tetap mempertahanku di rumah itu sampai berakhir masa
kontrakku. Ada suatu keyakinan dalam hatiku bahwa aku tak akan keluar dari
rumah itu jika bukan Tuhan sendiri yang membawaku keluar. Disaat-saat seperti
itu, saat dimana suasana tempat kerja dan majikan tak bersahabat, masih juga
ditambah masalah dengan keluarga di Indonesia. Aku benar-benar dituntut untuk
tetap bisa mengendalikan semuanya. Bersamaan dengan itu, aku pun harus
mempersiapkan diri untuk menempuh UAS. Sungguh, pikiran dan perasaanku makin
kacau balau jauh dari kata konsentrasi. Namun, aku masih ingat pada DIA. Tak
henti-hentinya aku meminta tolong kepada Tuhan karena hanya DIA-lah andalanku.
Dan benar, Tuhan tak pernah berbohong. DIA selalu menepati janji-Nya, takkan dibiarkan
umat-Nya menopang beban hidup sendirian. DIA mengirimkan perantara-perantara-Nya
tepat pada waktunya. Aku mampu menghadapi UAS semester awal dan berhasil dengan
nilai yang membahagiakan. Bagiku, bukan nilai yang membuatku berkesan tetapi
proses yang kujalani untuk meraihnya. Proses, yang bukan hanya sekedar proses
dalam menghadapi UAS, tapi juga proses kehidupan yang lebih luas. Dimana,
setiap proses itu, aku menjalaninya bersama Tuhan. Aku tidak sendirian
menghadapi proses kehidupanku ini. Ada Tuhan yang selalu menemaniku. Dan DIA
siap menjadi tameng dari setiap masalah hidup. Meski setiap doa yang diunjukkan
tak sempat tertata, tapi Tuhan menghargainya dan megabulkan jauh lebih indah
dari apa yang diminta. Asal kita percaya, Tuhan mampu memberi segalanya untuk
kita. Berbahagialah kita yang mengandalkan kekuatan Tuhan dan menyimpan
kepercayaan kepada-Nya. Terimakasih Tuhan. I love you, God!
Demikianlah sepenggal perjalanan
hidupku bersama Tuhan dalam meraih sebagian dari cita-citaku. Terimakasih.
Tentang
penulis :
Ketut Astiti, adalah salah satu dari mahasiswi
Universitas Terbuka Indonesia di Hong Kong yang mengambil Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik sub jurusan Sastra Inggris
Bidang Minat Penerjemah Semester III di awal tahun 2013. Siswi kelahiran kota
Ngawi ini memiliki jiwa humor yang tinggi. Di usianya yang memasuki tahun ke-22
pada tanggal 01 Agustus nanti, memiliki cita-cita menjadi seorang pendidik.
Semoga tercapai. Sukses!
^ GOD BLESS US ^